Rabu, 25 Agustus 2010

Negeri 5 Menara


Ringkasan Buku Negeri 5 Menara. Sebuah Novel yang Terinspirasi Kisah Nyata

Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan mandi di air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok.

Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan "mantera" sakti man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak mengigau dalam bahasa Inggris, dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.

Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka menunggu Maghrib sambil menatap awan lembayung berarak pulang ke ufuk. Di mata
belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.

Bagaimana perjalanan mereka ke ujung dunia ini dimulai? Siapa horor nomor satu mereka? Apa pengalaman mendebarkan di tengah malam buta di sebelah sungai tempat jin buang anak? Bagaimana sampai ada yang kasak-kusuk menjadi mata-mata misterius? Siapa Princess of Madani yang mereka kejar-kejar? Kenapa mereka harus botak berkilat-kilat? Bagaimana sampai Icuk Sugiarto, Arnold Schwarzenegger, Ibnu Rusyd, bahkan Maradona sampai akhirnya ikut campur? Ikuti perjalanan hidup yang inspiratif ini langsung dari mata para pelakunya. Negeri Lima Menara adalah buku pertama dari sebuah trilogi.


Dimensi: 13.5 x 20 cm
Tebal: 432 halaman
Cover: Soft Cover
ISBN: 978-979-22-4861-6
Kategori: Fiksi dan Sastra / Novel / Novel Asli

Tentang Pengarang: A. Fuadi
A. Fuadi lahir di Bayur, Danau Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka. Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat. Gontor pula yang membukakan hatinya kepada rumus sederhana tapi kuat, "man jadda wajada", siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses.

Lulus kuliah Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, dia menjadi wartawan Tempo. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah bimbingan para wartawan senior Tempo. Tahun 1998, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk kuliah S2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University. Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya---yang juga wartawan Tempo-adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.

Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy.

Aceh Pungo


by Aulia

pungo-coverOleh Baun Thoib Soaloon Siregar*

Judul : Aceh Pungo
Penulis : Taufik Al Mubarak
Penerbit : Bandar Publishing Banda Aceh
Tebal Buku : 282+xxii Halaman
Cetakan : 1, Februari 2009
Harga : Rp.49. 000

Ketika saya mencari-cari buku referensi kuliah pada sebuah toko buku, tiba-tiba seseorang (entah penjual atau pembeli) nyeletuk: ”Aceh pungo, dua uroe teuk, kon le ureung Aceh nyang pungo, Batak-Batak pih kapungo.” Saya hanya menangkap potongan ungkapan tadi dan tidak tahu sama sekali pangkal ujung pembicaraan. Karena penasaran saya bertanya: “Pakon, Dek!” Ia lantas menunjuk sebuah buku pada rak bagian tengah, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Oh, ini rupanya “Aceh Pungo”. Lalu, apa kaitannya dengan Batak? Kenapa pula orang Batak harus ikut-ikutan pungo? Apakah ini terkait dengan demo maut yang terjadi di Medan baru-baru ini, atau…? Ah, daripada menduga-duga, lebih baik buku ini dibaca dulu, pikirku seketika.

Bersampul hitam pekat, buku terbaru terbitan Bandar Publishing (BP) Banda Aceh ini diberi judul “Aceh Pungo” (AP) dengan tulisan warna putih mencolok, tapi berkesan lusuh dan tampak retak-retak. Entah apa yang ingin divisualisasi melalui gambar sampul tersebut. Apakah ini potret Aceh yang tenggelam dalam kelam, Aceh yang tak terduga, Aceh yang malang dan berkabung, atau Aceh yang diselimuti kegelapan, kebodohan, keterbelakangan, dan kejahatan, di mana yang muncul dan tampak jelas di permukaan hanyalah sederet kegilaan? Atau ini sebuah simbol jubah hitam kebesaran dan kebanggaan mengusung identitas dan budaya kegilaan? Semua atau sebagiannya mungkin benar, tapi mungkin juga salah. Penulis tampaknya membiarkan kita menerka-nerka tafsir yang serba mungkin dalam rasa penasaran, kebingungan, dan keingintahuan. Sebab, biarpun warna hitam sering kali identik dengan sifat-sifat negatif dan jahat, tetapi dalam banyak hal, hitam juga menjadi penyelaras, pembeda, bahkan pemanis konfigurasi tampilan warna. Hitam juga dianggap warna netral yang bisa cocok dan berpadu dengan warna-warna lain dalam membangun citra estetika dan eksotis.

Menurut saya, buku ini dapat dikatakan sebagai cerita tentang fenomena keanehan dan kegilaan masyarakat modern dalam skop yang luas dalam bahasa “Aceh”. Artinya, meskipun mungkin terdapat penekanan pada lokalitas masyarakat Aceh dengan mengambil setting dan simbol-simbol ke-Acehan yang khas, namun substansi lika-liku keanehan/kegilaan sosial politik yang diangkat dalam buku ini sebenarnya jauh menembus batas-batas demografi Aceh Darussalam. Apakah ini terkait dengan konsep think globally act locally, saya tidak tahu pasti. Yang jelas, fenomena seperti korupsi, jilat-menjilat, praktik hedonisme, demokrasi paradoks, kontradiksi antara idealisme dan realisme, premanisme dan kekerasan, dan kejujuran dan kesederhanaan merupakan isu-isu global yang juga melanda masyarakat di bagian dunia yang lain atau setidaknya daerah lain di Nusantara. Uniknya, dan inilah salah satu yang membuat buku ini menarik dan layak dibaca oleh semua orang. Semua itu disampaikan dan dibungkus dengan apik dalam bahasa Aceh pungo dalam pengertian yang luas (bahasa kegilaan dan keunikan orang Aceh).

Buku setebal 282 plus xxii halaman ini ditulis oleh Taufik Al Mubarak, jurnalis muda yang bekerja di koran Harian Aceh. Buku ini merupakan kompilasi tulisannya pada Pojok Gampong yang diasuhnya di koran tempatnya menempa diri, ditambah beberapa tulisannya pada media lain. Buku dengan kata pengantar dari Muhammad Nazar (Wakil Gubernur Aceh) ini terdiri dari tiga bagian: (1) Politek Ureung Gampong (Politik Orang Kampung); (2) Politek Pungo (Politik Gila); dan (3) Politek Hana Titiek (Politik tanpa Titik). Sekilas, melihat ketiga judul bagian tersebut, pembaca akan mengira bahwa buku ini adalah buku politik. Sebenarnya tidak. Walaupun banyak tulisan yang beraroma politik, namun secara substansial, buku tidak sepenuhnya berbicara tentang politik. Ada aura lain di dalamnya seperti komunikasi, teknologi, agama, bahasa, filosofi, ekonomi, dan pendidikan. Saya tidak bisa memastikan alasan apa dibalik pencantuman judul tersebut. Mungkinkah penulis berniat mengetengahkan semua itu dalam perspektif politik? Tidak juga. Memang ada satu judul tulisan pada bagian ketiga yang menjadi judul bagian tersebut, tapi hal ini tidak berlaku pada bagian pertama dan kedua. Apa karena unsur psikologi pemasaran agar tampak sensasional dan menarik konsumen atau barangkali ini terkait dengan demam politik yang semakin merambah semua sudut kehidupan akhir-akhir ini sehingga semua hal selalu dikait-kaitkan dengan politik? Terserah pembaca.

Di antara kelebihan buku ini adalah kelihaian penulis dalam mengendus problematika sosial politik yang berkembang dalam masyarakat—yang kebanyakan tampaknya hanyalah persoalan-persoalan biasa dan nyaris tak menjadi perhatian publik, lalu mengemasnya dalam tulisan-tulisan bernada kritik yang simpel tapi tajam. Bahkan, dalam banyak tulisan justru sangat inspiratif (menggugah emosi dan kesadaran terhadap hal-hal yang sebelumnya terlewatkan begitu saja). Lebih lanjut, dengan plus minusnya, beberapa tulisan malah berbau propaganda dan cenderung provokatif, sebagaimana pengakuan penulisnya. Hal ini tentunya sangat bergantung pada posisi dan perspektif orang yang membaca. Bagi saya, dengan tetap mengedepankan etika, bentuk dan pola komunikasi haruslah mencerminkan tujuan dan mempertimbangkan kondisi mental dan psikologi sasaran. Jadi, berkomunikasi dengan orang bebal, tungang atawa klo prip tentu saja sangat berbeda dengan orang dengan kualitas indra dengar, pikir, dan renung yang masih jernih.

Dari segi penyampaian, buku ini memperkenalkan sebuah gaya yang khas dengan beberapa ciri umum seperti topik acuan yang merakyat dan diberi label yang memikat tapi sebisa mungkin cukup familiar di telinga pembaca, menggunakan gaya bercerita, sering kali dibungkus dalam dialog singkat yang didesain sedemikian rupa sehingga tampak ril dan hidup, dan konsisten dengan bahasa “pasar” yang lugas dan acap kali kocak sehingga enak dibaca sekaligus mudah dipahami. Meskipun pada beberapa tempat, penulis menggunakan simbolisme, tapi ia tidak membiarkan pembaca mencari tahu sendiri makna yang ingin disampaikannya, melainkan menuntut mereka secara tautologis tahap-demi tahap menuju medan makna. Terus terang dan terbuka tanpa terjebak dalam hiperbolisme, bahkan membuka selebar-lebarnya hal-hal yang tertutup dan terbungkus kepada khalayak, itulah gambaran lain dari karakter buku ini. Dengan demikian, secara sadar penulis telah beranjak jauh meninggalkan gaya-gaya penulisan yang eufimistis dan simbolis menuju disfimisme dan realisme. Maklum, zaman sudah berubah, tak ada yang mesti ditutupi. Jurnalisme harus konsisten sebagai media pencerahan dan pencerdasan masyarakat.

Dengan kelebihan dan kekurangannya, hal ini sangat berbeda dengan “Celoteh Budaya Politik Aceh” (CBPA) terbit tahun 2003 yang berisi kumpulan tulisan mantan bupati Bireun Mustafa A. Glanggang pada rubrik “Tingkap” di Harian Serambi Indonesia. Meskipun CBPA juga berupa kritik sosial, tapi buku ini mengandalkan ragam gaya bahasa simbolisme, eufimisme, dan personifikasi yang sering kali dibalut cerita fiktif dalam menggambarkan fenomena sosial budaya dan politik pada masanya. Gaya penulisan AP juga memiliki perbedaan dengan “Dari Panteu Menuju Insan Kamil” (DPMIK), kumpulan tulisan Ampuh Devayan dalam kolom ”Panteu” harian Serambi Indonesia yang terbit dalam bentuk buku baru-baru ini. DPMIK mengusung gaya penulisan yang lebih formal, bernuansa sastra dan lebih ilmiah.

Meskipun di satu sisi, gaya penyampaian yang demikian sangat positif dalam konteks pendidikan politik dan pembangunan iklim demokrasi dewasa ini, namun dalam tingkatan tertentu, penulis tampaknya tidak bisa melepaskan begitu saja unsur subjektivitas dan emosionalitasnya sebagaimana tercermin dari beberapa tulisannya. Oleh karena itu, bisa saja di kemudian hari ada pihak yang beranggapan bahwa penulis cenderung tendensius, bahkan cenderung terjerumus dalam sinisme, atau bahkan satire.

Desain dan tampilan buku ini cukup elegan dan menarik. Cuma saja di dalamnya tidak didapati lembaran yang memuat informasi tentang KDT (Katalog dalam Terbitan) serta informasi penting tentang cuplikan UU tentang Hak Cipta sebagaimana pada buku-buku terbitan lain. Selain itu, pemaksaan pencantuman judul baru pada lembaran baru membuat banyak sekali halaman yang kosong yang tidak terpakai sama sekali.

Menyangkut ejaan dan tata bahasa sebenarnya sudah cukup baik, namun penulisan kata “pungo” baik di halaman kulit maupun di dalam teks seharusnya dimiringkan karena kata tersebut termasuk kata asing yang belum terserap sepenuhnya ke dalam bahasa Indonesia. Terakhir, foto penulisnya sedang merokok pada halaman profil, kurang tepat. Sebab kondisi tersebut dapat memunculkan image yang negatif bagi sebagian pembaca. Sejatinya foto yang ditampilkan adalah foto netral tanpa rokok, agar penulisnya dapat diterima oleh semua kalangan pembaca.

Bagaimanapun, buku ini sudah cukup baik dan relatif mampu mewujudkan misinya sebagai kritik sosial yang berusaha memotret fenomena “kegilaan” dan keunikan masyarakat Aceh kontemporer dalam berbagai aspek. Meskipun sekian banyak topik tulisan dalam buku ini memang belum mampu menampung totalitas realita ke-pungo-an masyarakat Aceh dalam berbagai hal yang dengan susah payah dikorek penulisnya. Namun demikian, kerja keras ini pantas diapresiasi. Kita tentu tidak berharap ke-pungo-an ini berlanjut atau malah semakin menjadi-jadi apalagi sampai merembes ke masyarakat tetangga sebelah (Batak) sebagaimana celotehan pemuda di toko buku kemarin. Selamat kepada Taufik Al Mubarak, dan bagi pembaca, selamat membaca.

Mengapa Aceh Digelar Serambi Makkah?


Posted on 19 May 2008 by ryanis
Acehku sayang Acehku malang
Jasamu besar untuk republik
Tetapi orang kurang mengenang
Nasibmu aduhai sedihnya
Setiap hari nyawa melayang
Padahal Aceh bukan Palestina
Dan yang berkuasa bukan Yahudi
(Abu Az-Zahra)

Negeri Aceh pada abad ke 15 M pernah mendapat gelar yang sangat terhormat dari umat Islam nusantara. Negeri ini dijuluki “Serambi Makkah” sebuah gelar yang penuh bernuansa keagamaan, keimanan, dan ketaqwaan. Menurut analisis pakar sejarawan, ada 5 sebab mengapa Aceh menyandang gelar mulia itu.

Pertama,
Aceh merupakan daerah perdana masuk Islam di Nusantara, tepatnya di kawasan pantai Timur, Peureulak, dan Pasai. Dari Aceh Islam berkembang sangat cepat ke seluruh nusantara sampai ke Philipina. Mubaligh-mubaligh Aceh meninggalkan kampung halaman untuk menyebarkan agama Allah kepada manusia. Empat orang diantara Wali Songo yang membawa Islam ke Jawa berasal dari Aceh, yakni Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ngampel, Syarif Hidayatullah, dan Syeikh Siti Jenar.

Kedua, daerah Aceh pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan di Nusantara dengan hadirnya Jami’ah Baiturrahman (Universitas Baiturrahman) lengkap dengan berbagai fakultas. Para mahasiswa yang menuntut ilmu di Aceh datang dari berbagai penjuru dunia, dari Turki, Palestina, India, Bangladesh, Pattani, Mindanau, Malaya, Brunei Darussalam, dan Makassar.

Ketiga, Kerajaan Aceh Darussalam pernah mendapat pengakuan dari Syarif Makkah atas nama Khalifah Islam di Turki bahwa Kerajaan Aceh adalah “pelindung” kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara. Karena itu seluruh sultan-sultan nusantara mengakui Sulatan Aceh sebagai “payung” mereka dalam menjalankan tugas kerajaan.

Keempat, daerah Aceh pernah menjadi pangkalan/pelabuhan Haji untuk seluruh nusantara. Orang-orang muslim nusantara yang naik haji ke Makkah dengan kapal laut, sebelum mengarungi Samudra Hindia menghabiskan waktu sampai enam bulan di Bandar Aceh Darussalam. Kampung-kampung sekitar Pelanggahan sekarang menjadi tempat persinggahan jamaah haji dulunya.

Kelima, banyak persamaan antara Aceh (saat itu) dengan Makkah, sama-sama Islam, bermazhab Syafi’i, berbudaya Islam, berpakaian Islam, berhiburan Islam, dan berhukum dengan hukum Islam. Seluruh penduduk Makkah beragama Islam dan seluruh penduduk Aceh juga Islam. Orang Aceh masuk dalam agama Islam secara kaffah (totalitas), tidak ada campur aduk antara adat kebiasaan dengan ajaran Islam, tetapi kalau sekarang sudah mulai memudar.

(Sumber : Koran Serambi Indonesia, sekitar tahun 1990-an)